Laman

Selasa, 25 September 2012

Sarasehan Nasional Peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-67 MPR RI







Sarasehan Nasional Peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-67 MPR RI, Implementasi TAP MPR dalam Mewujudkan Sistem Hukum Yang Demokratis Dan Berkeadilan.

Tanggal 29 Agustus 2012, bertempat di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen, mulai pukul 10.00 hingga 15.30 WIB, dalam rangka Memperingati Hari Konstitusi (18 Agustus) dan HUT Ke-67 MPR, MPR menggelar Sarasehan Nasional dengan tema “Implementasi Ketetapan MPR RI dalam Mewujudkan Sistem Hukum yang Demokratis dan Berkeadilan” (Pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Sarasehan ini mengundang 500 peserta dari unsur pimpinan dan anggota MPR/DPR/DPD, pimpinan lembaga negara/menteri kabinet, civitas akademika, biro/pusat/lembaga-lembaga kajian, tokoh masyarakat/ormas/LSM, pers (media massa cetak dan elektronik), mahasiswa (BEM PTN/PTS), dan umum.

Sarasehan nasional yang diagendakan dibuka oleh Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid MS ini akan menampilkan pakar-pakar di bidang hukum dan pelaku perubahan. Enam narasumber dibagi dalam dua sesi sarasehan. Sesi I: Lukman Hakim Saifuddin (Wakil Ketua MPR RI), Prof. Dr. Satya Arinanto, SH.,MH. (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia), Prof. Dr. Saldi Isra, SH.,MPA (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas), Moderator  :  Refly Harun, SH.,MH.,LLM. Sesi II: Drs. Hajriyanto. Y. Thohari, M.A (Wakil Ketua MPR RI), Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH.,MH, (Hakim Konstitusi), Prof. Dr. Yuliandri, SH.,MH. ( Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang), Moderator : Dr. R. Siti Zuhro, MA. dan ditutup oleh Wakil Ketua MPR RI Hj. Melani Leimena Suharli.

Penyelenggaraan sarasehan ini berangkat dari realita bahwa pasca perubahan UUD Tahun 1945, susunan kedudukan dan wewenang lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaran Indonesia mengalami perubahan. Lembaga negara yang semula bersifat struktural vertical-hierarkies, berubah menjadi bersifat horizontal functional, dimana kedudukan lembaga-lembaga negara tidak dibedakan menurut struktur-hirarkinya, tetapi dibedakan menurut fungsi dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Perubahan ini membuat hubungan lembaga negara bersifat horisontal fungsional dan tidak ada satupun lembaga negara yang memiliki kedudukan lebih rendah atau lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Pola hubungan antar lembaga negara menjadi berdasarkan fungsi dan wewenang yang dimilikinya dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances). Sebelum perubahan, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat mengatur bahkan memberi mandat kepada Presiden untuk melaksanakan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan sekaligus meminta pertangung-jawaban Presiden sebagai  mandataris MPR.

Perubahan demikian, memunculkan pertanyaan mengenai keberadaan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur. Beberapa kalangan berpandangan bahwa MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan produk hukum yang besifat mengatur (regeling), dan ada yang berpandangan bahwa kewenangan itu masih ada. Oleh karenanya Pasal 1 Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 menugaskan kepada MPR untuk melakukan peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR untuk diambil putusan pada Sidang MPR Tahun 2003.

Atas dasar itulah, maka pada Sidang MPR Tahun 2003, MPR menetapkan Ketetapan MPR No I/MPR/2003 tentang  Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Hasil peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPR tersebut adalah 139 (seratus tiga puluh sembilan) Ketetapan yang kemudian dikategorikan menjadi enam kategori yang tertuang dalam 6 Pasal, yakni Pasal 1,

Ketetapan MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sebanyak 8 (delapan) Ketetapan. Pasal 2, Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan, sebanyak 3 Ketetapan. Pasal 3, Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004, sebanyak 8 Ketetapan, Pasal 4, Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang, sebanyak 11 Ketetapan, Pasal 5, Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya  Peraturan Tata Tertib yang baru  oleh MPR hasil pemilu 2004 tahun 2004, sebanyak 5 Ketetapan dan Pasal 6, Ketetapan MPRS/MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, sebanyak 104 Ketetapan.

Setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor  I/MPR/2003, Ketetapan MPR tidak lagi terdapat dalam hierarki peraturan perundang-undangan  dan oleh karenanya tidak lagi menjadi sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Meskipun sudah dilakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum dengan berbagai kategori pemberlakukan Ketetapan MPRS/MPR sebagaimana tertuang dalam  Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, kedudukan Ketetapan MPRS/MPR tetap menimbulkan ketidak-pastian hukum karena tidak menjadi landasan hukum dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik peraturan perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar maupun di bawah Undang-Undang.

Mengingat pentingnya materi yang diatur dalam Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku sesuai Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, Ketetapan MPR ditempatkan kembali dalam tata urut peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar, dan karenanya menjadi sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dengan keberadaan Ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita bersama untuk mencermatinya dalam berbagai sudut pandang baik terkait dengan  wewenang MPR menetapkan produk hukum, aspek politik, hukum, maupun implementasi  Ketetapan MPR sebagai salah satu sumber hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.