Jurnas.com | WAKIL Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Hj. Melani Leimena Suharli mengharapkan para Ustadz dan santri untuk menghormati kemajemukan bangsa Indonesia. “Kita harus memahami bahwa Indonesia bukanlah negara Islam atau negara agama. Yang benar adalah Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,” kata Melani Leimena saat berdialog dengan para Ustadz dan santri di Pondok Pesantren Darul Islah, Jalan Buncit Raya, Kalibata Pulo, Jakarta Selatan, Sabtu (14/9).
Dalam dialog tersebut, hadir diantaranya Sekretaris Umum Pondok Pesantren Darul Islah, Hairul Anwar, Ustadz Aqil Badruddin, ibu-ibu di kompleks Ponpes Darul Islan serta para santri yang berjumlah sekitar 150 santri. Ponpes Darul Islah dipimpin oleh KH Amir Hamzah. Ponpes ini dibangun di atas lahan sekitar 2.000 meter persegi. Saat ini ponpes mendidik para santri dari berbagai daerah seperti Betawi, Sunda, Jawa, dan Kalimantan. Bahkan satu orang santri berasal dari negara tetangga Malaysia yakni Muhammad Husin.
Politisi Partai Demokrat ini, menjelaskan UUD 1945 telah mengalami amandemen sebanyak empat kali. Salah satu perubahan UUD 1945 yaitu Presiden hanya bisa dipilih untuk dua kali periode. Melani juga menyoroti makin terpuruknya moral bangsa yang ditandai dengan berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ia juga menyayangkan karena Pancasila sebagai dasar negara Indonsia mulai dilupakan.
Oleh karena itu, menurut Melani, lembaga MPR trus mensoalisasikan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika atau lebih dikenal empat pilar negara.
Melani mengusulkan agar pendidikan Pancasila menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah. Pada bagian lain, dia mengatakan Indonesia bukan negara yang gagal. Sebab Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua setelah China. Bahkan dari 20 negara anggota G20, Indonesia berada pada peringkat ke-16.
“Belanda saja yang pernah menjajah Indonsia tidak termasuk anggota G20. Ini membanggakan bagi Indonesia,” kata anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini.
Ustadz Aqil Badruddin menjelaskan Ponpes Darul Islah didirikan pada tahun 1989 oleh KH Amir Hamzah. Sementara Hairul Anwar berharap kepada pemerintah agar tidak ada pembedaan antara skolah umum dengan sekolah khusus seperti pondok pesantren. “Harus ada kesetaraan,” katanya.
Dalam dialog tersebut, hadir diantaranya Sekretaris Umum Pondok Pesantren Darul Islah, Hairul Anwar, Ustadz Aqil Badruddin, ibu-ibu di kompleks Ponpes Darul Islan serta para santri yang berjumlah sekitar 150 santri. Ponpes Darul Islah dipimpin oleh KH Amir Hamzah. Ponpes ini dibangun di atas lahan sekitar 2.000 meter persegi. Saat ini ponpes mendidik para santri dari berbagai daerah seperti Betawi, Sunda, Jawa, dan Kalimantan. Bahkan satu orang santri berasal dari negara tetangga Malaysia yakni Muhammad Husin.
Politisi Partai Demokrat ini, menjelaskan UUD 1945 telah mengalami amandemen sebanyak empat kali. Salah satu perubahan UUD 1945 yaitu Presiden hanya bisa dipilih untuk dua kali periode. Melani juga menyoroti makin terpuruknya moral bangsa yang ditandai dengan berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ia juga menyayangkan karena Pancasila sebagai dasar negara Indonsia mulai dilupakan.
Oleh karena itu, menurut Melani, lembaga MPR trus mensoalisasikan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika atau lebih dikenal empat pilar negara.
Melani mengusulkan agar pendidikan Pancasila menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah. Pada bagian lain, dia mengatakan Indonesia bukan negara yang gagal. Sebab Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua setelah China. Bahkan dari 20 negara anggota G20, Indonesia berada pada peringkat ke-16.
“Belanda saja yang pernah menjajah Indonsia tidak termasuk anggota G20. Ini membanggakan bagi Indonesia,” kata anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini.
Ustadz Aqil Badruddin menjelaskan Ponpes Darul Islah didirikan pada tahun 1989 oleh KH Amir Hamzah. Sementara Hairul Anwar berharap kepada pemerintah agar tidak ada pembedaan antara skolah umum dengan sekolah khusus seperti pondok pesantren. “Harus ada kesetaraan,” katanya.